Kelangkaan Burung Nuri

Saat ini, tak kurang 119 jenis burung di Indonesia terancam punah. Penyebabnya adalah perburuan, perdagangan liar dan kerusakan habitat. Pada hal Indonesia merupakan habitat lebih dari 1500 jenis burung.

Nuri Talaud
Nuri Talaud (Ilustrasi : Fahrul Amama, Yayasan Sampiri)

Dari 119 jenis yang terancam punah, terdapat lima jenis burung yang sudah sangat kritis karena terancam punah. Burung-burung dimaksud adalah Nuri Talaud (Eos histrio), Kakaktua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea), Kakatua Seram (Cacatua Moluccansis), Jalak Bali (Leucopsar rothchildi), Trulek Jawa (Vanellus macropterus) dan Seriwangsa Sangihe (Eutrichomyias rowleyi).

Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah kepunahan hewan kekayaan Indonesia itu, namun semuanya tampak tidak efektif, akibat maraknya perdagangan illegal hewan-hewan langka itu. Perdagangan burung Nuri Talaud (Eos histrio) atau penduduk setempat menyebutnya “Sampiri”, misalnya, hingga kini terus merajalela. Tak kurang ratusan ekor burung yang berharga tinggi ini diselundupkan ke luar negeri.

Perdagangan burung Nuri Talaud jelas melanggar hukum, karena hewan tersebut termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun1999, serta ketentuan internasional mengingat dalam Appendix I CITES ditegaskan bahwa burung tersebut tidak boleh diperdagangkan antar negara. Nuri Talaud (Sampiri)
Kepulauan Sangihe Talaud (Sulawesi Utara) sebagai salah satu Daerah Burung Endemik di Indonesia (EBA 167), memiliki tak kurang 11 jenis burung endemik selain beberapa spesies endemik lainnya seperti empat spesies mamalia, dua spesies kupu-kupu dan beberapa spesies tumbuhan yang kesemuanya sangat bergantung kepada keberadaan hutan di kepulauan tersebut. Diantara burung-burung endemik tersebut, Nuri Talaud tampak telah mendapat perhatian masyarakat dunia sejak beberapa abad silam. Ini tampak dari adanya burung Nuri Talaud yang sudah diawetkan pada diaroma di Natural History Museum London Inggris.

Memang, tak ada yang tahu bagaimana burung tersebut bisa bertengger di museum ternama itu, namun dari jejak sejarah, kemungkinan burung awetan itu dibawa para pelaut Eropa pada abad 18. Souvenir berupa burung awetan ini tampak menarik perhatian para kolektor maupun naturalis dan ahli biologi yang bekerja di berbagai musium di Eropa, sehingga mereka berusaha mengkajinya secara ilmiah.

Sejak tahun 1760, Nuri Talaud secara ilmiah telah ditetapkan sebagai satu jenis tersendiri berdasarkan koleksi yang ada di museum. Dalam sebuah buku yang terbit di tahun 1889, Sidney J Hickson, juga telah menyinggung satwa langka yang ia temui dalam perjalanannya ke Sangihe Talaud di tahun 1885. Hal yang sama, juga dipaparkan oleh Dr. Murray, seorang naturalis yang mengunjungi pulau Miangas, sebagaimana dikisahkan oleh St. G. Mivart dalam bukunya yang terbit tahun 1898

Sesungguhnya, banyak laporan para naturalis yang menyinggung keberadaan burung tersebut. Namun, ironisnya hampir semuanya menunjukkan telah terjadi perdagangan burung Sampiri sebagai komoditas bernilai tinggi.
Nuri Talaud dan Kuntul
Nuri Talaud dan Kuntul (Ilustrasi : Fahrul Amama, Yayasan Sampiri)


Penyelundupan Burung
Larangan memperdagangkan satwa langka pun tampak tak kuasa membendung perdagangan burung nuri, yang tentu dilakukan secara gelap. Menurut keterangan masyarakat setempat, pada tahun 1960-an, selain kopra, pala dan cengkeh, burung nuri menjadi komoditi andalan yang banyak diselundupkan ke Tawao atau Filipina.

Sementara pada tahun 1990-an, penyelundupan burung nuri, menjadi usaha sampingan para nelayan Filipina yang banyak melakukan illegal fishing di perairan Indonesia untuk dipasok ke General Santos Filipina. Maraknya perdagangan gelap itu terjadi tentu akibat lemahnya pengawasan oleh TNI AL, serta pemerintah daerah setempat.

Menurut informasi, perdagangan burung nuri memang menguntungkan. Para nelayan Filipina biasanya membeli dari penduduk dengan harga . Rp. 25.000 – Rp. 50.000 per ekor. Atau bisa juga dilakukan dengan sistem barter, yakni ditukar dengan panci alumunium, penggorengan, sangkur, dan minuman keras (Tanduay, London Gin, dan minuman berakohol lainnya). Sedangkan para nelayan setiba di Filipina akan menjualnya kembali dengan harga yang berlipat-lipat.

Perdagangan nuri talaud (Sampiri) telah menjadi satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun1999 pada dasarnya melibatkan banyak orang. Jalinan antara penangkap, penadah, pedagang perantara, dan pedagang besar, telah membentuk jaringan yang menghubungkan Talaud, Jakarta, Filipina dan Singapura.

Action Sampiri (1999) melaporkan bahwa kegiatan penangkapan dan perdagangan nuri talaud mulai marak sekitar akhir 1980-an. Adanya pesanan dari Jakarta dalam jumlah besar (sekitar 2500 ekor) yang konon katanya untuk taman burung di Taman Mini Indonesia Indah, telah memicu kegiatan penangkapan Nuri Talaud secara besar-besaran. Sementara kedatangan kapal ikan Filipina dan interaksinya dengan masyarakat di pesisir Timur Karakelang telah memberi peluang bagi perdagangan Nuri Talaud menjadi bisnis yang memiliki pasar luar negeri. Setiap tahunnya, ribuan ekor Nuri Talaud dijual ke luar wilayah kepulauan Talaud dalam kurun waktu antara 1996-1999.

Sebagian besar Nuri talaud dijual ke Filipina, sementara sebagian kecil lainnya dijual ke daerah lain di Indonesia melalui Manado. Dalam satu laporan disebutkan bahwa lebih dari 500 ekor burung Sampiri telah datang ke Singapura dari Indonesia antara bulan April dan Desember 1992.

Laporan investigasi Yayasan Sampiri menyebutkan bahwa perdagangan Nuri Talaud masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kalkulasi kasar berdasarkan hasil investigasi Yayasan Sampiri tahun 2003, total burung Nuri Talaud yang diperdagangkan di 3 kampung yang menjadi basis penangkap selama periode 8 tahun terakhir adalah sekitar 6.480 ekor, atau rata-rata sekitar 810 ekor per tahun.

Sarana perhubungan yang terbatas, ketrampilan masyarakat sangat rendah, ketidak-tahuan masyarakat umum, dan ketidak-mengertian anggota legislatif menjadi faktor pemicu perdagangan Nuri Talaud. Lemahnya pengawasan baik yang dilakukan TNI AL di wilayah perbatasan maupun KSDA, kepolisian, dan pemerintah kecamatan di kampung-kampung pesisir menjadi kendala dalam mengurangi tekanan terhadap populasi Nuri Talaud akibat perdagangan illegal. Sementara pemberdayaan hukum yang lemah dan sikap yang korup telah turut melestarikan kegiatan bisnis ilegal ini.

Upaya Pelestarian
Pemerintah sebenarnya telah berusaha menjaga kelestarian hewan-hewan langka tersebut, antara lain dengan menetapkan kawasan hutan konservasidi Kepulauan Sangihe Talaud. Di pulau Sangir Besar tak kurang sekitar 3,549 ha areal dijadikan Hutan Lindung Sahendaruman sedangkan di Pulau Karakelang sekitar 24,669 ha dijadikan areal Suaka Margasatwa Karakelang dan 9000 ha sebagai areal Hutan Lindung.

Sayangnya, keberadaan hutan konservasi tersebut sangat rentan akibat maraknya perambahan hutan, pencurian kayu, perburuan dan perdagangan satwa liar, serta pencemaran lingkungan.

Pemerintah daerah menyadari arti penting kawasan ini, dan mendukung perlindungan serta keberadaan kawasan-kawasan tersebut. Namun, belum adanya kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam serta kejelasan batas kawasan hutan menyebabkan kurang efektifnya perlindungan yang dilakukan pemerintah.

Mengubah kebiasaan masyarakat memang tidak mudah. Apalagi bila dibalik itu terdapat iming-iming keuntungan ratusan ribu rupiah dari para cukong.
Paulus Londo, aktif di LS2LP
Read More..

Kekayaan Hayati Kita Menakjubkan

Sebuah buku yang dikeluarkan Conservation International
membuktikan keanekaragaman hayati Indonesia kedua terbesar di
dunia setelah Brasil. Mampukah negara mengelola karunia ini?


KUMAN di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.
Pepatah kuno ini bisa juga menggambarkan betapa ironisnya kehidupan
manusia. Orang telah sampai ke bulan, tapi ribuan spesies hewan dan
tumbuhan di bumi sendiri, tak semuanya dikenali. Bahkan, tanpa disadari,
manusia telah memusnahkan keanekaragaman makhluk hidup itu untuk
kepentingan sesaat bernama ekonomi.

Kesadaran tentang betapa kayanya planet hijau bernama bumi inilah yang
dicoba dibangun oleh buku Megadiversity: Earth's Biologically Wealthiest
Nations, yang peluncurannya dilakukan Desember lalu. Buku setebal 503
halaman yang digarap bersama di bawah koordinasi lembaga
Conservation International (CI) itu berhasil memetakan secara rigid
kekayaan flora dan fauna bumi dengan basis negara.

Dari 17 negara yang diamati (Amerika, Meksiko, Kolombia, Ekuador,
Peru, Venezuela, Brasil, Kongo, Afrika Selatan, India, Madagaskar,
Malaysia, Indonesia, Cina, Filipina, Papua Nugini, dan Australia),
Indonesia menduduki tempat ketiga setelah Brasil dan Kolombia dalam
hal keragaman flora dan fauna. Tapi, dalam hal endemisitasnya (jenis
spesies yang khas) Indonesia boleh bangga karena menempati posisi
teratas. Jika dua tolok ukur ini digabungkan, Indonesia berada di tempat
kedua setelah Brasil. Kekayaan itu sungguh luar biasa kalau
dibandingkan dengan luas wilayah. Soalnya, dalam hal yang satu ini
Indonesia hanya menempati posisi kedelapan, dengan luas yang kurang
dari 2 juta kilometer persegi. Bandingkan dengan negara paling luas,
yakni Cina, yang luasnya hampir 10 juta kilometer persegi, tapi hanya
berada di tempat kedelapan dalam keanekaragaman dan endemisitas.

Kalau diperiksa per subkategori, Indonesia juga masih bisa besar hati.
Untuk jenis tumbuhan berpembuluh dan hewan bertulang belakang atau
vertebrata, misalnya, negeri kita berada pada urutan pertama dengan skor
koleksi 19.300 jenis. Jumlah total keanekaragaman hayati mencapai
325.350 jenis flora fauna. Kekayaan ini pun sebenarnya belum tergali
semua karena miskinnya database biota yang dimiliki Indonesia. Untuk
kategori mamalia, misalnya, Indonesia harus ''kalah" dengan Brasil.
''Padahal pada database tahun 1982 koleksi mamalia Indonesia nomor
satu di dunia," kata Jatna Supriatna, Direktur Conservation International
Indonesia.

Pemetaan keanekaragaman hayati dalam buku Megadiversity ini memang
bukan karya yang pertama. Birdlife International, misalnya, pernah
melakukannya dalam proyek Endemic Bird Area (EBA) untuk memetakan
prioritas konservasi burung-burung endemik. Selain itu WWF juga pernah
membuat Conservation Potential Threat Index (CPTI) untuk mengukur
potensi ancaman terhadap flora dan fauna.

Yang baru dari Megadiversity adalah pendekatan keanekaragaman hayati
berbasiskan negara dengan menggabungkan tolok ukur keanekaragaman
dan endemisitas. Sebelumnya, pemetaan yang dilakukan CI adalah
dengan menggunakan pendekatan hotspot dan wilderness area. Pada
hotspot, wilayah tidak dibagi berdasarkan negara melainkan kawasan,
dengan tolok ukur endemisitas dan ancaman. Jadi, dunia dibagi menjadi
17 kawasan hotspot, dengan dua di antaranya berada di Indonesia, yakni
Wallacea (Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku), dan kawasan Sunda
(Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia). Sedangkan
pada wilderness area, dunia dibagi berdasarkan kawasan yang memiliki
blok hutan yang sangat luas. Wilayah Indonesia yang masuk kategori ini
adalah Irianjaya. Melalui pendekatan Megadiversity, tekanan terhadap
pentingnya negara sebagai pengelola lingkungan lebih diutamakan.
Dengan kata lain, secara politis negara bertanggung jawab terhadap hidup
matinya ribuan spesies yang hidup di negara tersebut.

Masalahnya sekarang tentu saja berpulang ke pengelola negara tersebut.
Adakah ia serius menjaga kekayaan alam bernama keanekaragaman
hayati? Atau adakah kekayaan itu hanya pelengkap hidup manusia yang
bisa dimusnahkan kapan saja?
Tempo Interaktif, NO. 16 TAHUN XXVII
Arif Zulkifli, I G.G. Maha S. Adi
Read More..


  • Chat via YM disini aja

top