Kekayaan Hayati Kita Menakjubkan

Sebuah buku yang dikeluarkan Conservation International
membuktikan keanekaragaman hayati Indonesia kedua terbesar di
dunia setelah Brasil. Mampukah negara mengelola karunia ini?


KUMAN di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.
Pepatah kuno ini bisa juga menggambarkan betapa ironisnya kehidupan
manusia. Orang telah sampai ke bulan, tapi ribuan spesies hewan dan
tumbuhan di bumi sendiri, tak semuanya dikenali. Bahkan, tanpa disadari,
manusia telah memusnahkan keanekaragaman makhluk hidup itu untuk
kepentingan sesaat bernama ekonomi.

Kesadaran tentang betapa kayanya planet hijau bernama bumi inilah yang
dicoba dibangun oleh buku Megadiversity: Earth's Biologically Wealthiest
Nations, yang peluncurannya dilakukan Desember lalu. Buku setebal 503
halaman yang digarap bersama di bawah koordinasi lembaga
Conservation International (CI) itu berhasil memetakan secara rigid
kekayaan flora dan fauna bumi dengan basis negara.

Dari 17 negara yang diamati (Amerika, Meksiko, Kolombia, Ekuador,
Peru, Venezuela, Brasil, Kongo, Afrika Selatan, India, Madagaskar,
Malaysia, Indonesia, Cina, Filipina, Papua Nugini, dan Australia),
Indonesia menduduki tempat ketiga setelah Brasil dan Kolombia dalam
hal keragaman flora dan fauna. Tapi, dalam hal endemisitasnya (jenis
spesies yang khas) Indonesia boleh bangga karena menempati posisi
teratas. Jika dua tolok ukur ini digabungkan, Indonesia berada di tempat
kedua setelah Brasil. Kekayaan itu sungguh luar biasa kalau
dibandingkan dengan luas wilayah. Soalnya, dalam hal yang satu ini
Indonesia hanya menempati posisi kedelapan, dengan luas yang kurang
dari 2 juta kilometer persegi. Bandingkan dengan negara paling luas,
yakni Cina, yang luasnya hampir 10 juta kilometer persegi, tapi hanya
berada di tempat kedelapan dalam keanekaragaman dan endemisitas.

Kalau diperiksa per subkategori, Indonesia juga masih bisa besar hati.
Untuk jenis tumbuhan berpembuluh dan hewan bertulang belakang atau
vertebrata, misalnya, negeri kita berada pada urutan pertama dengan skor
koleksi 19.300 jenis. Jumlah total keanekaragaman hayati mencapai
325.350 jenis flora fauna. Kekayaan ini pun sebenarnya belum tergali
semua karena miskinnya database biota yang dimiliki Indonesia. Untuk
kategori mamalia, misalnya, Indonesia harus ''kalah" dengan Brasil.
''Padahal pada database tahun 1982 koleksi mamalia Indonesia nomor
satu di dunia," kata Jatna Supriatna, Direktur Conservation International
Indonesia.

Pemetaan keanekaragaman hayati dalam buku Megadiversity ini memang
bukan karya yang pertama. Birdlife International, misalnya, pernah
melakukannya dalam proyek Endemic Bird Area (EBA) untuk memetakan
prioritas konservasi burung-burung endemik. Selain itu WWF juga pernah
membuat Conservation Potential Threat Index (CPTI) untuk mengukur
potensi ancaman terhadap flora dan fauna.

Yang baru dari Megadiversity adalah pendekatan keanekaragaman hayati
berbasiskan negara dengan menggabungkan tolok ukur keanekaragaman
dan endemisitas. Sebelumnya, pemetaan yang dilakukan CI adalah
dengan menggunakan pendekatan hotspot dan wilderness area. Pada
hotspot, wilayah tidak dibagi berdasarkan negara melainkan kawasan,
dengan tolok ukur endemisitas dan ancaman. Jadi, dunia dibagi menjadi
17 kawasan hotspot, dengan dua di antaranya berada di Indonesia, yakni
Wallacea (Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku), dan kawasan Sunda
(Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia). Sedangkan
pada wilderness area, dunia dibagi berdasarkan kawasan yang memiliki
blok hutan yang sangat luas. Wilayah Indonesia yang masuk kategori ini
adalah Irianjaya. Melalui pendekatan Megadiversity, tekanan terhadap
pentingnya negara sebagai pengelola lingkungan lebih diutamakan.
Dengan kata lain, secara politis negara bertanggung jawab terhadap hidup
matinya ribuan spesies yang hidup di negara tersebut.

Masalahnya sekarang tentu saja berpulang ke pengelola negara tersebut.
Adakah ia serius menjaga kekayaan alam bernama keanekaragaman
hayati? Atau adakah kekayaan itu hanya pelengkap hidup manusia yang
bisa dimusnahkan kapan saja?
Tempo Interaktif, NO. 16 TAHUN XXVII
Arif Zulkifli, I G.G. Maha S. Adi

1 comments

Make A Comment

  • Chat via YM disini aja

top